Monday, October 13, 2008

Lebaran (tak lagi) Kembali Fitri

Sebulan lamanya Ramadhan bertahta, dijalankan atau nggak tetep aja bulan Ramadhan namanya yang (seharusnya) penuh hikmah. Seirng dengan berjalannya waktu, tak banyak orang yang menyambut gembira datangnya bulan puasa ini kecuali beberapa kalangan orang kayak para kapitalis dn anak kecil.

Para kapitalis yang selalu saja siap dengan barang dagangannya, jauh-jauh hari udah nyetok kulakan barang-barang yang sekiranya laku di hari lebaran. Pakaian baru, bahan pangan serta aneka macam kue khas lebaran beranjak naik harganya karena kebutuhan yang mau tidak mau tetep saja dicari. Arogansi kaum kapitalis memainkan pasar tanpa memikirkan kondisi perekonomian yang tak mau diajak kompromi. Hukum alam berlaku disini, ada uang ada barang, tak ada uang semua hanya bayang-bayang.

Selain mereka, anak kecil lah yang bergembira di bulan ini karena mereka beranggapan bakal dapet baju baru dan uang saku yang berlebih. Belum lagi mereka bisa menikmati kue-kue semau mereka yang tak biasa mereka jumpai di hari-hari biasa. Lebaran adalah hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh (terlepas puasa atau enggak toh lebaran tetep aja ada dan dirayakan).

Setelah digembleng dengan berpuasa, mengendalikan hawa nafsu sebulan penuhu namun hari lebaran bukan berarti melonggarkan semuanya seakan out of control kan? Makna hari kemenangan seakan menguap tak ada arti sesungguhnya. Baju baru tak hanya satu tapi bisa sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan membeli karena hal itu menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam urusan materi. Kue-kue tersaji meskipun harga mencekik namun tetap terbeli. Aneka rasa minuman menggugah mereka yang jarang menikmati minuman yang bernama sirup hingga di hari lebaran tak jarang orang yang penyakit diabetnya kambuh gara-gara mencicipi minuman tersebut, dengan dalih mumpung lebaran toh nggak tiap hari.

Kalau sudah begitu apa ini yang disebut dengan kemenangan? Kemenangan atas apa? Tak ada habisnya dipikir…

Ritual bermaaf-maafan hanya menjadi ajang pamer saat berkumpul dengan sanak keluarga, pamer keberhasilan dengan segala yang dikenakan. Ucapan maaf hanya sebatas di mulut, tak menghilangkan kerak kesalahan di hati yang paling dalam. Kalau memang benar sudah memaafkan, tak perlu lagi kan membahas kesalahan yang ada bukan? Bahkan membicarakan kekurangan yang ada. Apa itu yang dinamakan kembali fitri? Tak banyak orang memaknai lebaran dengan keikhlasan hati, kemenangan diri tanpa hura-hura dan mendapatkan hidayah Ramadhan.

Jaman memang telah berubah…

Saturday, October 11, 2008

Masih Bertanya

It [Religion] is the opium of the people
(agama adalah candu dari masyarakat)”
Karl Max.
Lagi-lagi agama jadi bahan obrolan yang seru plus menegangkan, taruhan yang sangat besar kala keyakinan tergoyahkan oleh pendapat yang sekiranya masuk akal. Banyak orang masa kini yang tak terlalu serius menganggap agama sebagai pedoman hidup mereka. Agama hanyalah simbol yang perlu diisi kala menulis formulir tentang biodata diri atau kala ditanya seseorang.
Agama tak lebih dari tulisan yang tertera di kartu identitas diri namun pada kenyataannya agama bukanlah apa-apa. Tak ada yang begitu peduli dengan agamanya sendiri, bahkan pada saat itu Tuhan entah lari kemana di benak mereka. Mungkin pada saat itu Tuhan tersenyum melihat tingkah polah makhluk-makhluk ciptaannya sendiri.
Kadang terbersit tanya yang luar biasa tak terjawab karena keterbatasan pola pikir manusia hingga kesimpulan pendek yang terealisasikan. Apalagi di jaman yang semakin modern seperti saat ini, agama bukanlah hal penting yang patut dipertahankan. Kalau sudah begitu, keberadaan Tuhan tak perlu dipertanyakan lagi karena dalam benak mereka Tuhan telah menguap.
Tuhan...belum sempat keberadaannya di kukuhkan dalam diri namun sudah termunafikan sebelumnya. Bagi sebagian orang, agama memang merupakan candu karena mereka telah menemukan kunci untuk menemui Tuhannya. Yah…semoga saja kita bukan bagian dari mereka-mereka yang melupakan Tuhan hingga aku mendapat cap sebagai makhluk yang tak tahu terima kasih.

Tak Pernah Puas

Bawakan aku secawan anggur
Engkau menggeleng tegas
Bawakan aku sepotong daging merah
Engkau pun kembali menggeleng
Bawakan aku sekelumit cerita lalu
Engkau menggeleng penuh kepastian
Bawakan aku sebongkah kebahagiaan
Kembali Engkau menggeleng pelan
Bawakan aku apa yang aku mau
Engkau menggeleng dan terus menggeleng
Hingga Engkau berkata:
“Tak cukupkah yang Kuberikan padamu slama ini?”