Sebulan lamanya Ramadhan bertahta, dijalankan atau nggak tetep aja bulan Ramadhan namanya yang (seharusnya) penuh hikmah. Seirng dengan berjalannya waktu, tak banyak orang yang menyambut gembira datangnya bulan puasa ini kecuali beberapa kalangan orang kayak para kapitalis dn anak kecil.
Para kapitalis yang selalu saja siap dengan barang dagangannya, jauh-jauh hari udah nyetok kulakan barang-barang yang sekiranya laku di hari lebaran. Pakaian baru, bahan pangan serta aneka macam kue khas lebaran beranjak naik harganya karena kebutuhan yang mau tidak mau tetep saja dicari. Arogansi kaum kapitalis memainkan pasar tanpa memikirkan kondisi perekonomian yang tak mau diajak kompromi. Hukum alam berlaku disini, ada uang ada barang, tak ada uang semua hanya bayang-bayang.
Selain mereka, anak kecil lah yang bergembira di bulan ini karena mereka beranggapan bakal dapet baju baru dan uang saku yang berlebih. Belum lagi mereka bisa menikmati kue-kue semau mereka yang tak biasa mereka jumpai di hari-hari biasa. Lebaran adalah hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh (terlepas puasa atau enggak toh lebaran tetep aja ada dan dirayakan).
Setelah digembleng dengan berpuasa, mengendalikan hawa nafsu sebulan penuhu namun hari lebaran bukan berarti melonggarkan semuanya seakan out of control kan? Makna hari kemenangan seakan menguap tak ada arti sesungguhnya. Baju baru tak hanya satu tapi bisa sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan membeli karena hal itu menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam urusan materi. Kue-kue tersaji meskipun harga mencekik namun tetap terbeli. Aneka rasa minuman menggugah mereka yang jarang menikmati minuman yang bernama sirup hingga di hari lebaran tak jarang orang yang penyakit diabetnya kambuh gara-gara mencicipi minuman tersebut, dengan dalih mumpung lebaran toh nggak tiap hari.
Kalau sudah begitu apa ini yang disebut dengan kemenangan? Kemenangan atas apa? Tak ada habisnya dipikir…
Ritual bermaaf-maafan hanya menjadi ajang pamer saat berkumpul dengan sanak keluarga, pamer keberhasilan dengan segala yang dikenakan. Ucapan maaf hanya sebatas di mulut, tak menghilangkan kerak kesalahan di hati yang paling dalam. Kalau memang benar sudah memaafkan, tak perlu lagi kan membahas kesalahan yang ada bukan? Bahkan membicarakan kekurangan yang ada. Apa itu yang dinamakan kembali fitri? Tak banyak orang memaknai lebaran dengan keikhlasan hati, kemenangan diri tanpa hura-hura dan mendapatkan hidayah Ramadhan.
Jaman memang telah berubah…
2 comments:
he'e ok! lebaran makin taun makin nggak fitri. aku malah nggak sungkem hehe..... taku. malu.
halah nek kamu sih nggak heran...
sungkem gak penting tp yg penting sangune hahaha dasar...
Post a Comment